Senin, 19 Oktober 2009

”Meramal” Masa Depan dengan Matematika

MATEMATIKA? Bidang studi yang satu ini hingga kini masih dianggap hantu yang menakutkan bagi anak-anak, bahkan orang dewasa sekalipun, kendati tanpa alasan yang jelas. Kondisi ini diperparah dengan sosok guru yang tidak bersahabat dengan mereka. Maka tidaklah berlebihan manakala ujian tiba hasilnya kurang memuaskan jika kita tidak mau mengatakan gagal total.

Di lain pihak, matematika dianggap bidang studi yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup. Matematika adalah dasar segala dasar untuk memudahkan belajar bidang studi lain. Memang demikian keadaannya, seseorang yang telah menguasai matematika akan mudah mempelajari hal lainnya. Akan tetapi selalu saja anak atau peserta didik merasa tidak nyaman.

Melihat gelagat demikian tentunya kita tidak boleh diam, solusi apa yang dapat memberikan angin kesegaran bagi peserta didik. Paling tidak membuat anak-anak kita tetap berkutat dengan bidang studi yang satu ini. Toh dari dulu hingga sekarang belajar adalah "mainan" yang menyenangkan bagi anak-anak. Belajar adalah gula-gula yang setiap saat didambakan. Belajar adalah pengalaman yang menakjubkan bagi semua orang.

Anak akan terus beranggapan demikian, kecuali jika orang dewasa berhasil meyakinkan bahwa belajar adalah racun bagi kehidupan. Tentu ini tidak diinginkan bukan? Yang jelas kondisi ini akan tetap menyenangkan mana kala peserta didik terlibat di dalamnya. Toh belajar bukanlah satu arah, di mana anak harus dicekoki dengan berbagai macam teori atau rumusan. Tetapi belajar adalah permainan yang menggairahkan, belajar adalah saripati kehidupan di mana dan kapan pun berada.

Kita sebagai orang tua tentunya akan sependapat seperti itu. Yang jelas formula apa yang dapat membangkitkan anak-anak kita mampu keranjingan dengan matematika. Toh berbagai macam metode maupun jurus sudah dikerahkan, tetapi tetap saja peserta didik menganggap pelajaran ini penghambat kemajuan.

Meramal masa depan

Belakangan ini penulis sering diminta memberikan formula "jitu" bagaimana caranya menumbuhkembangkan anak-anak agar mencintai matematika. Tentu permintaan ini tidak berlebihan setelah mereka, khususnya orangtua peserta didik merasakan anaknya tidak lagi mengeluh ataupun takut. Malahan mereka hampir setiap melakukan kegiatan dihubung-hubungkan dengan matematika. Salah satunya tatkala penulis memberikan permainan yang mampu membuat mereka berkutat dan tersenyum gembira dengan pelajaran ini.

Yang lebih mengesan lagi laporan dari orang tua, bahwa anak-anak mereka hampir setiap orang yang ada di rumah ataupun yang dikenal dengan pasti akan diramal dengan matematika. Pendek kata, mereka tidak lagi alergi dengan pelajaran yang satu ini.

Ada pun yang penulis sodorkan kepada peserta didik ketika itu dengan memberikan permainan yang diberi judul "Meramal masa depan". Memang bisa kita meramal dengan matematika? Pertanyaan ini sering dilontarkan oleh anak-anak ketika penulis mengawali pelajaran ini. Dengan senyum penulis katakan, kenapa tidak? Tidak percaya, mari kita buktikan apa ramalan yang dimaksud.

Pertama-tama kita membuat tabel seperti di bawah ini:

Setelah membut tabel tersebut barulah kita meramal. Caranya? Misalnya begini, nama penulis Drajat. Kemudian, huruf-hurufnya kita beri nilai sesuai dengan tabel. D=4, R=18, A=1, J=10, A=1, T=20. Selanjutnya, angka itu dijumlahkan secara berurut, 4+18+1+10+1+20= 54. Angka hasil adalah 54 merupakan kunci ramalannya. Kemudian, kita lihat angka 54 ini berada di posisi profesi mana. Ternyata angka 54 menduduki posisi sebagai penulis.

Contoh ramalan lainnya misalkan Nabila Az-Zahra. N=14, A=1, B=2, I=9, L=12, A=1, A=1, Z=26, Z=26, A=1, H=8, R=18, A=1. Jumlahnya, 14+1+2+9+12+1+1+26+26+1+8+18+1=120. Angka 120 menduduki profesi ilmuwan.

Mudah, bukan? Supaya lebih seru lagi dalam permainan ramalan ini kita dapat mempraktikkannya dengan mimik muka yang serius. Perlihatkanlah bahwa kita benar-benar seorang peramal masa depan. Sebagai catatan, jika dalam tabel tersebut hanya sampai bilangan 208, kita dapat meneruskannya sampai tak terhingga. Ini bergantung pada kita, sampai angka berapa yang dikehendaki.

Dari uraian di atas semakin jelaslah bahwa dengan memberikan stimulus semacam begitu ternyata mampu memberikan angin kesegaran, kegembiraan, kenyamanan dan setumpuk motivasi lainnya bagi peserta didik. Tak percaya? Silakan praktikkan pengalaman penulis tersebut.

Sebagai catatan terakhir, penulis yakin masih banyak cara menuju keberhasilan. Sayang bukan, jika bidang studi yang terus digembar-gemborkan ini harus dibiarkan begitu saja. Ya, boleh dibilang matematikaku sayang matematikaku malang. Yang jelas adakah niat baik dari semua pihak untuk kembali bertanggung jawab terhadap anak didik kita? Sekecil apa pun yang kita berikan adalah mutiara terbaik. Insya-Allah, Tuhan akan mencatatnya sebagai amalan yang tidak ada bandingnya. Amin.***